Oleh ; Darlis Aziz*
Ernest Renant dalam Benedict Anderson (1991) secara kontras menjelaskan bagaimana proses pembentukan negara-bangsa di akhir abad ke-18 di benua Eropa dan Amerika. Rekonstruksi negara-bangsa melalui sebuah proses yang paling “alami” ini dihadapkan pada realitas dimana pada satu sisi warga negara diminta untuk membayangkan sebuah cita-cita imajiner “tentang identitas baru” namun disisi lain publik yang seharusnya sebagai subjek dari negara itu diminta untuk “melupakan” segala sesuatu tentang latar belakangnya dimasa lalu. Revolusi Prancis dan Nazi di Jerman adalah 2 contoh kasus yang konkrit disamping negara-negara Eropa lainnya. Kasus aktual dan terus-menerus menyajikan cerita “kaum tertindas”di Palestina adalah contoh kasus lain dimana identitasnya digerus dan direproduksi melalui cerita perlawanan yang diwariskan secara turun temurun melalui memori kolektif bangsa Palestina dalam peringatan hari nakhba (bencana besar) telah mewujudkan refleksi dan rekontruksi secara terus menerus terhadap identitas kolektif bangsa Palestina sampai hari ini.
Misztal (2003) secara kritis juga kemudian memperkuatnya dalam sebuah teori nya mengenai memori kolektif yang secara degeneratif adalah _antithesis_ daripada “amnesia kolektif” dimana proses “pelupaan” tidak akan berdiri sendiri tanpa sebuah upaya terstruktur dan sistematis dengan tujuan untuk menciptakan sebuah identitas baru tanpa ada unsur "yang lama", dimana yang lama sering di gambarkan adalah sesuatu yang tidak relevan lagi untuk saat ini.
Maurice Halbwachs (1925) yang dikenal sebagai Bapak kajian memori kolektif menyampaikan bahwa “Sejarah” dan “Ingatan kolektif” merupakan 2 syarat yang memungkinkan terciptanya sebuah masyarakat. Keduanya adalah dasar dari keberadaan sebuah masyarakat. Namun, keduanya bukanlah sesuatu yang mutlak tak berubah. Selalu ada kemungkinan perubahan atas isi keduanya, kata Halbwachs. Sebuah masyarakat haruslah terus melihat masa lalunya dengan kerangka berpikir yang baru. Proses melihat dengan cara baru ini amatlah tergantung dari percampuran berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Percampuran beragam kepentingan ini juga amat mempengaruhi penulisan sejarah tentang masa lalu masyarakat tersebut. Maka tidak heran kita sering mendengar bahwa “Siapa pemenang perang, maka dialah yang akan menulis sejarah sebuah bangsa”, jadi melihat realitas ini kita perlu mendidik diri dan masyarakat agar memiliki daya berpikir kritis terhadap sebuah peristiwa kontemporer.
Melihat komparasi ini menjadi sebuah kajian aktual dalam mengkritisi isu yang lagi hangat diperbincangkan oleh komunitas masyarakat peduli sejarah/budaya khususnya di Kota Banda Aceh, kita menyaksikan bagaimana sebuah upaya yang –mau tidak mau- kita harus menyebutnya sebagai sebuah proses _de-konstruksi_ sejarah dengan pendekatan yang strukturatif menggunakan dalih proyek-proyek besar Nasional. Pembangunan fisik – baik proyek IPAL, Maupun Tol Nasional – yang tidak memperhatikan artefak peninggalan sejarah telah menjadi “alat” yang _legitimate_ untuk menghilangkan (baca: merusak) struktur bangunan lama (memori budaya) yang menjadi warisan penting masyarakat Aceh.
*Banda Aceh Kota Budaya*
Banda Aceh merupakan salah satu kota tertua di dunia dalam sejarah peradaban Islam. Banda Aceh menurut sejarah didirikan oleh Sultan Johan Syah pada 1 Ramadhan, Tahun 610 Hijriah atau bertepatan dengan 22 April 1205 M. Pada April 2021 ini Kota Banda Aceh akan berusia genap 816 Tahun. Kota Bandar Aceh Darussalam yang didirikan oleh Meurah Johan dan melalui 'tangan dingin' Syaikh Abdullah Kan’an ini merupakan cikal bakal berdirinya kesultanan Aceh Darussalam yang merupakan merger atau konfederasi dari 3 kerajaan kecil lainnya ( _Aceh _Lhee_ Sagoe_ ) yaitu Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Jaya (Seudu), dan Kerajaan Indra Purwa yang berpusat di Kerajaan Lamkrak (Lamuri).
Kerajaan Lamuri inilah yang kemudian berpindah dan mendirikan Meukuta Alam pada awal abad ke-11 Masehi yang kemudian dikenal Kutaraja. Baru pada Abad ke-15 Sultan Ali Mughayat Shah yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam melakukan upaya Integrasi menyeluruh upaya awal Sultan Johansyah tadi menjadi Kesultanan Aceh Darussalam yang dimulai pada tahun 1513 M hingga 1524, Beliau berhasil menyatukan Pedir, Daya, Lingga, Tamiang hingga Samudra Pasai dan berjaya mengalahkan Portugis yang terkenal kuat pada tahun 1524 M. Ketika beliau wafat pada 1530 Masehi, telah mewariskan kebesaran nama Aceh Darussalam di mata dunia yang beberapa puing-puing nya masih bisa kita lihat peninggalannya hingga sekarang (Özay, 2019). Melihat akar sejarah kota Banda Aceh yang memiliki sejarah yang begitu tua maka tidak salah jika kita menisbahkannya sebagai Banda Aceh sebagai “Kota Budaya” dan "Kota Memori".
Ketika kami (Baca: IKAMAT) melakukan “Tapak Tilas” sejarah Aceh-Turki 2 tahun lalu di sekitaran Kota Banda Aceh, saya mendapatkan sebuah pengalaman mendalam betapa puing-puing peninggalan yang saya sebutkan diatas merupakan sebuah kekayaan yang tidak dimiliki daerah atau banyak negara lain. Karena selain kita mewarisi peninggalan budaya tak benda (intangible heritage) kita juga mewarisi banyak budaya benda (artefak) yang diakui dunia bahkan menjadi inspirasi bagi banyak ilmuwan di berbagai negara, peninggalan budaya benda (tangible heritage) yang kita miliki ini seandainya bisa _dikapitalisasi_ secara apik oleh badan terkait di bawah Pemda/Pemkot, saya sangat yakin akan menjadi sebuah destinasi wisata fisik termasuk 'metafisik' yang mampu menggugah jiwa peradaban.
*Peninggalan Budaya Sebagai Identitas*
Aceh sebagaimana disampaikan oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad dalam _Acehnologi_ (KBA, 2014) merupakan laboratorium sosial yang komplit, ia memiliki paradigma tersendiri dimana Aceh memiliki triangulasi lengkap untuk sebuah peradaban. Sejarah, Manusia, dan Warisan Nilai Budaya adalah tiga hal yang 'wajib' dipenuhi untuk membangun pondasi identitas suatu masyarakat/bangsa agar bisa bertahan dari arus zaman. Setiap bangsa memiliki tempat tertentu untuk identitasnya. Misalnya orang Yahudi dengan Yerusalem dan Holocaust-nya, Ummat Muslim dengan Mekkah dan Ka’bahnya, dan lain-lain. Setiap tempat ini memiliki arti penting dan memiliki asosiasi yang khas bagi masing-masing umat tersebut. Ada ingatan kolektif tertentu yang terhubung dengan tempat-tempat ini, dan menjadi identitas kolektif dalam representasi sosial keagamaan mereka (Frieß A. Nina, 2010). Maka oleh karena itu, Penghancuran tempat-tempat ini menurut _Frieß_ merupakan sebuah ancaman bagi identitas kolektif kelompok tersebut. Tentang ini, Frieß menafsirkan pemikiran Halbwachs sebagai berikut;
“Halbwachs also does not limit it to the framework of personal groups, such as the family as a place for main socialization, but also material places, something like a city intersection, where a person spends his childhood, or its root…”
Bahwa kenangan akan tempat dan lokasi telah membentuk kenangan dan ingatan kolektif yang bersifat 'mnemonic' atau asosiasi kuat mengenai citra diri mereka. Sebagaimana disampaikan oleh Halbwachs (yang dikutip oleh Olick; 2011) bahwa memori kolektif merupakan proses yang terbentuk dari warisan budaya yang membentuk representasi kolektif, struktur budaya, konstruksi sosial, serta kenangan individu yang dibangun secara individual dan sosial sehingga melahirkan yang namanya 'memori bersama' tentang citra sosial atau identitas sosial mereka.
Masyarakat Peduli Sejarah Aceh atau MAPESA yang telah melakukan upaya penyelamatan berbagai situs dan artefak peninggalan Kesultanan Aceh di berbagai daerah di Aceh khususnya di Aceh Besar dan Banda Aceh, hingga hari ini telah menyelamatkan puluhan bahkan ratusan jenis benda budaya. Untuk batu nisan sendiri terdapat setidaknya 18 jenis yang terdiri dari 11 batu nisan dari Kesultanan Aceh Darussalam, 3 dari Lamuri, dan 4 dari Kerajaan Samudra Pasai, Sebut Mizuar (dalam Putri, 2018).
Mizuar Mahdi ketua MAPESA juga menekankan bahwa tujuan mereka untuk menggali dan meneliti berbagai artefak dan situs peninggalan budaya makam adalah dalam rangka menyelamatkan memori budaya (Cultural Memory) yang memiliki silsilah panjang dan belum terungkap secara pasti. Mizuar menyatakan bahwa tujuan mereka -tidak lain dan tidak bukan- adalah untuk melanjutkan keterputusan sejarah itu dan menyampaikan secara ilmiah dan gamblang melalui pengungkapan inkripsi dari pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam berbagai fitur yang ditemukan didalam batu nisan yang mereka temukan dalam program meseuraya kepada generasi muda Aceh (Putri, 2018).
Halbwachs dalam _Chen_ juga menyatakan bahwa lingkungan fisik bersejarah sering mampu menciptakan repositori dalam ingatan. Chen mengemukakan pendapat Halbwachs (1980: 140) yang menyatakan bahwa memori kolektif selalu dikaitkan dengan tempat dan lokasi. Ini analog dengan ‘setiap ingatan kolektif yang diungkapkan adalah kerangka ruang, di mana kita dapat memahami bagaimana kita memindahkan masa lalu yang pada dasarnya tahan lama di lingkungan fisik sekitarnya’ (Chen, 2007. hal 178).
Dari pendapat Chen diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa benda-benda peninggalan budaya tersebut memiliki makna penting terhadap sejarah dan memori kolektif bangsa.
*Belajar Dari Pengalaman Negara Lain*
Jika kita melihat bagaimana negara-negara lain dalam menghargai peninggalan sejarah mereka misalnya, Jerman yang hari ini merupaka sebuah negara maju di Eropa telah merawat dengan baik memori bangsanya pasca perang dunia ke-2, bahkan tidak hanya memori bangsa mereka memori bangsa lain (Israel) juga dirawat dengan baik seperti museum holocoust di Berlin. Demikian juga Prancis yang merekonstruksi memori nasional mereka setelah revolusi Prancis pada abad 18. Turki yang memiliki sejarah lebih tua dari Aceh misalnya juga merawat dengan baik memori bangsanya. Bahkan ada satu fakta menarik yang terjadi ketika pada tahun 2009 dalam proses pembangunan rel kereta cepat yang menghubungkan Benua Asia dengan Eropa di Istanbul, dikarenakan para pekerja yang menemukan berbagai peninggalan benda bersejarah masa Romawi dan Yunani kuno dalam penggalian bawah air di distrik Uskudar, Pemerintah Turki langsung menghentikan dan menunda pembangunan rel yang menghabiskan anggaran milyaran lira itu untuk menyelematkan peninggalan budaya yang lebih berharga. Hal ini pernah kita sampaikan kepada perwakilan Pemerintah Aceh yang ikut dalam Pameran Budaya dan Sejarah Aceh (Aceh Culture Festival) di Istanbul oleh Ikatan Masyarakat Aceh di Turki. Jika dilihat secara sinis, memang peninggalan budaya (baik fisik dan non-fisik) itu tidak memiliki makna dan nilai ekonomis. Namun jika Pemerintah dibawah dinas kebudayaan dan pariwisata bisa mengemasnya dengan paradigma yang benar, maka Pemkot/Pemda Banda Aceh bisa mengemasnya menjadi sebuah destinasi wisata budaya yang terintegrasi dengan memori kolektif masyarakat Aceh, selain memiliki benefit pariwisata, saya sangat yakin hal ini akan melahirkan sebuah _re-konstruksi_ baru terhadap peninggalan sejarah ini menjadi sebuah maha karya yang bermakna dan menggugah kembali jiwa peradaban yang telah hilang/dihilangkan dari jiwa-jiwa anak bangsa.
Sebagai salah seorang generasi muda Aceh yang sedang berdiaspora di negeri orang, kami ikut merasa prihatin atas kondisi aktual yang berlaku di daerah. Kita meminta untuk dilakukan studi arkeologi bawah air dan bawah tanah secara komprehensif di berbagai sudut “kota budaya” ini dengan melibatkan akademisi, peneliti, kolektor, relawan, dan lembaga swadaya masyarakat secara independen sebelum dilakukannya pembangunan fisik yang bisa mengorbankan banyak sekali peninggalan budaya yang kaya itu. Jika hal itu tidak dilakukan, Alih-alih pembangunan proyek pekerjaan yang akan dilakukan pemerintah ini bisa disebut _de-konstruksi_ atau penghancuran terhadap memori kolektif bangsa yang telah wujud ratusan tahun lalu.
Wallahu’alam Bishawwab
_____________________________
* Mahasiswa Pasca Sarjana Studi Budaya dan Media di Uskudar University-Istanbul, Turki) dan Inisiator _Beudôh Atjeh Foundation._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar