elitnesia.com l Aceh -Selama dua hari, 28 – 29 Maret 2021, Partai Aceh (PA) menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) kepada semua anggota Dewan berasal dari Partai tersebut, mengambil tempat di Hotel Penemas Takengon, Aceh Tengah.
Sejumlah 18 anggota DPRA dan 120 anggota DPRK se-Aceh dari PA hadir untuk mengikuti Bimtek, yang merupakan agenda tahunan partai local di Aceh ini, yang akan diselenggarakan di Takengon, Aceh Tengah.
Ketua panitia Yahdi Hasan, yang juga sebagai anggota DPRA wilayah Dapil 8 mengatakan Bintek yang diadakan PA, merupakan agenda partai setahun dua sekali. Kali ini kita mengundang pemateri dari akademisi dan praktisi politik untuk membekali para anggota dewan Partai tersebut, sebut Yahdi Hasan.
Para pemateri yakni, Prof. Dr.H. Syamsur Rijal, M.Ag, berbicara tentang Implementasi MoU Helsinki dan UUPA dalam perspektif birokrat dan akademis di Aceh. Lalu pemateri “Teknik dan politik penyusunan anggaran” disampaikan oleh Dr.Husnan, ST, MP.
Tidak kalah menarik, hadir juga sebagai pemateri dari akademisi kampus USK, Dr. Syukri Abdullah, SE, M.SI.Ak, yang menjelaskan “Peran DPRA/DPRK dalam penganggaran dan pengawasan keuangan daerah”, Serta pemateri “Teknik dan pedoman pembentukan qanun, disampaikan oleh Dekan Fakultas Hukum dan Syariah Universitas islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI), Dr. T. Rasyidin, SH, M.H, di tutup dengan materi tentang “Pedoman bentuk pengawasan legislasi” oleh Tgk.H. Abdullah Saleh, SH.
Rasyidin, yang juga tim hukum Partai Aceh dan Tim ahli pada lembaga Wali Nanggroe, dalam penyampaiannya menyatakan qanun Aceh disusun dan berpedoman kepada 5 sumber, yakni pertama Al-Quran dan Hadist, kedua Pancasila, ketiga Undang-undang 1945, lalu MoU Helsinki, UU Pemerintahan Aceh dan Hukum adat, resam dan budaya aceh itu sendiri, ujar Rasyidin.
Lalu dalam teori yang telah diimplementasikan lalu, pihak legislatif dan eksekutif membentuk qanun sesuai dengan kewenangan Aceh dalam MoU Helsinki dan juga UU PA. Sedangkan Wali nanggroe dan MPU memberi pertimbangan terhadap produk qanun agar sesuai dengan nilai-nilai MoU Helsinki dan Syariat Islam, urai Doktor Hukum Tatanegara dari USU Medan ini.
Kemudian lanjut Rsyidin, Siapakah yang melakukan pembinaan dan pengawasan atas qanun Aceh tersebut?... Dalam hukum dan aturan yang mengatur hal ini, disebutkan bahwa lembaga pengawas terhadap terselenggaranya nlai-nilai keistimewaan dan kekhususan Aceh yang dibentuk oleh eksekutif maupun legislative dalam qanun itu ada lll unsur, yakni Lembaga Wali Nanggroe, Lembaga MPU Aceh, dan Partai Politik yang ada di Aceh ini, tambah Rasyidin.
Di akhir presentasi dan diskusinya, Rasyidin, menekankan bahwa implementasi nilai-nilai dari kelima pembentuk Qanun dari nilai Al Quran, Hadis hingga budaya Aceh, diberikan otonomi khusus dalam bentuk self government. Bentuk self government Aceh belum dijabarkan dengan konkrit sampai saat ini.
Maka untuk mengkonkritkan ini, dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki, sebut Rasyidin, perlu kita lahirkan qanun-qanun yang memuat butir-butir MOU Helsinki. Dan hal itu di laksanakan baik di tingkat provinsi juga di tingkat kabupaten dan kota, pungkas Rasyidin. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar