elitnesia.com
Opini - Sejak Pemerintah Indonesia menetapkan Covid 19 sebagai bencana nasional tampak terlihat perubahan secara drastis baik secara demokrasi maupun secara ekonomi kerakyatan. Hal tersebut tidak terlepas dari lahirnya kebijakan pemerintah dalam penanganan covid 19. Namun di sisi lain ada hak – hak rakyat yang tidak terpenuhi yang tentunya akan dapat menjadi preseden buruk bagi Indonesia ke depan.
Sebelum penulis mengulas lebih jauh, penulis akan menerangkan terlebih dahulu apa itu Corona Virus (Covid 19). Dalam catatan World Health Organization (WHO) virus corona adalah keluarga besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia, pada manusia sendiri corona diketahui menyebabkan infeksi pernafasan mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah seperti Mers dan Sars.
Covid 19 merupakan penyakit menular dan pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 lalu yang kemudian kini menjadi wabah yang menakutkan bagi hampir setiap negara.
Di Indonesia sejak 2 maret 2020 hingga 4 Agustus 2021 tercatat angka kematian akibat terpapar Covid 19 mencapai 100.636 jiwa, menjadikan Indonesia berada diperingkat 12 sebagai negara dengan kasus kematian tertinggi di dunia, hal tersebut didapatkan pada data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tentu hal ini menjadi duka yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia, meskipun seperti yang kita ketahui telah banyak program dan upaya penanganan yang dilakukan pemerintah namun hal tersebut ternyata belum mampu menekan angka penularan covid 19. Sementara di Wuhan, China yang merupakan awal ditemukanya Covid 19 mulai merangkak membaik, transaksi ekonomi mulai dibuka meskipun tetap mematuhi protokol kesehatan.
Kembali pada topik di atas bagaimana dampak covid 19 merenggut hak demokrasi dan ekonomi rakyat, meskipun sebelum adanya Covid 19 melanda dunia demokrasi Indonesia sudah terlihat merosot, kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan kritikan, kini menjadi kekhawatiran bagi banyak kalangan, para aktivis dan tokoh masyarakat seakan di tuntut untuk hati – hati dalam memilih kata dalam mengkritik pemerintah, bermacam delik digunakan dalam membungkam suara sumbang dari bawah, jika sebelumnya undang undang IT banyak di gunakan dalam menjerat para aktivisme kini ada undang – undang baru yang sudah di rancang yaitu Rancangan Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (RKUHP), dimana draf tersebut berpeluang menjerat orang yang menghina lembaga negara, ketentuan itu di atur dalam sejumlah pasal d Bab IX tentang Tindak Pidana Tehadap Kekuasan Umum dan Lembaga Negara.
Salah satu pasal tersebut adalah pasal 353 “ setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasan umum atau lembaga negara di pidana dengan penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak katagori II berkisar 10 juta, ” begitu bunyi pasal tersebut. Padahal Presiden atau DPR adalah institusi negara, dimana dalam hukum tata negara dua institusi itu adalah benda mati, yang hidup itu adalah individunya, jadi bila pun ada yang mengkritik negara tidak boleh tersinggung, karena yang ia emban adalah lembaga negara.
Tidak sampai disitu banyak hal lagi yang penulis nilai dapat mengancam demokrasi Indonesia, Covid 19 menjadi salah satu dasar atau alasan tidak dikeluarkannya izin Demonstrasi bagi mahasiswa dan masyarakat, sementara banyak kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang mengundang kerumuman, bahkan kerumunan di mall atau pergelaran yang dilakukan oknum pejabat tidak menjadi masalah, bahkan yang lebih mirisnya lagi antrian vaksin yang notabenenya merupakan program pemerintah tidak menjadi sebuah persoalan, kita tidak tahu pasti apa argumentasi yang kuat sehingga hal tersebut tidak di soalkan. Apakah mungkin ada kaitan nya dengan bisnis atau ada hal lain, tentu itu menjadi tanda tanya besar di tengah – tangah masyarakat, yang seharusnya pemerintah menjadi contoh panutan bagi rakyat, malah ternyata pemerintahnya yang tidak memberikan contoh yang baik.
Hal lain yang meganggu demokrasi Indonesia baru baru ini adalah adanya gambar mural di beberapa tembok di jalanan Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya, mural menggambarkan berbagai macam kritikan, mulai dari menunjukkan pemerintah gagal dalam menangani Covid 19, kemudian kondisi ekonomi masyarakat hari ini yang terjepit sontak menjadi viral dan membuat pemerintah kelabakan untuk menghapus mural tersebut. Padahal menurut penulis, itu adalah wujud ekspresi yang dirasakan masyarakat hari ini di tengah situasi PPKM dengan segala ke lemahanya. Misal seperti mural mirip Jokowi mengenakan pakaian putih dengan wajah tertutup masker, ini tentu memiliki makna kritikan sosial yang di tuangkan melalui gambar pada beton fly over di Bandung.
Kini pelaku pembuat mural tersebut sedang di buru oleh pihak penegak hukum untuk mencari tahu apa maksud dari mural tersebut. Padahal sejatinya pihak kepolisian memiliki intelenjensi dan psikologi yang kuat, sangat mustahil gambar sesederhana itu tidak dapat dimengerti maksud dan tujuan. Seharusnya hal tersebut biarlah menjadi seni kritik bukan malah semakin hari rakyat tertekan dan tertindas akibat tidak adanya kepastian ekonomi dan demokrasi Indonesia.
Oleh karenanya penulis mengharapkan Pandemi Covid 19 ini tidak menjadi ajang dalam merampas Demokrasi dan Ekonomi Rakyat secara perlahan. Bukan pula menjadikan Covid 19 sebagai ajang bisnis papan atas, dengan mengenyampingkan hajat orang banyak. Yang semestinya hak – hak akan untuk hidup tersebut di tanggung oleh negara.
Penulis :Muzirul Qadhi
#2dekadedemokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar