Penulis opini: Jamalul–Mahasiswa Ilmu Hukum USK |
Elitnesia.id| Opini,- Kita menyadari praktik politik uang telah menjadi penyakit kronis yang menghujam masyarakat. Praktik ini benar-benar telah menjadi musuh nyata bagi kualitas demokrasi kita. Bagaimana tidak, praktik tersebut terang-terangan merusak esensi dari pada Pemilu/Pilkada itu sendiri. Demokrasi jelas terancam. Politik uang adalah strategi politik licik ketika calon pemimpin menggunakan kekayaan atau sumber daya finansial nya untuk membeli suara, mendukung kampanye, atau mempengaruhi keputusan politik demi meraih kekuasaan yang dia mau peroleh.
Sungguh miris kita menyaksikan praktik ini malah dianggap hal yang hal yang wajar bahkan dilakukan pembenaran sepihak oleh para calon pemimpin yang akan berkompetisi dengan anggapan “semua calon juga begitu, lantas kenapa kita tidak?” Ditambah lagi dengan anggapan “kalau tidak menyodori uang bagaimana bisa menang”. Duh miris sekali melihat anggapan seperti itu terus dipelihara oleh para calon pemimpin kita. Sangat jarang kita melihat calon-calon itu murni hanya meributkan gagasan, bertempur lewat ide-ide agar nantinya benar benar dapat melahirkan kebijaksanaan dalam suatu kebijakan. Lebih parah lagi praktik uang tersebut pun telah dianggap sesuatu yang biasa dan sah-sah saja oleh sebagian masyarakat kita sendiri “siapa yang kasih banyak, dia kita tancap”. Masyarakat yang berpikir demikian sering kali tidak menyadari atau malah sebenarnya mereka pun menyadari namun abai saja, bahwa mereka sebenarnya sedang mempertaruhkan kualitas demokrasi sejalan dengan itu mereka telah acuh tak acuh terhadap dampak lanjut yang beresiko buruk yang baru akan dirasakan dalam 5 tahun setelah pemilihan. Sial inilah realitanya, kita ini terbiasa membenarkan suatu kesalahan atas kesalahan, lalu menjadikannya sesuatu yang wajar.
Pesta Demokrasi, Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 27 November nanti seharusnya menjadi momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan kemampuan mereka. Tetapi ketika politik uang mulai merajalela. Menjalar ke desa-desa, amplop bersebaran, ada juga yang dikamuflasekan dengan istilah sumbangan serta hadiah dan masih banyak lagi strategi licik yang setiap 5 tahun sekali dipertontonkan. Maka ketika hal tersebut terjadi proses pemilihan tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional tentang siapa yang paling kompeten atau memiliki kepedulian terhadap rakyat. Sebaliknya, ia akan beralih menjadi transaksi materi: siapa yang mampu memberikan lebih banyak uang, dia yang akan menang. Ini adalah kenyataan pahit yang semakin memperburuk kualitas demokrasi kita hari ini.
Berbahayanya lagi politik uang juga akan menciptakan ketergantungan politik di kalangan masyarakat. Ketika masyarakat memilih dengan pertimbangan materi, mereka sungguh telah kehilangan hak mereka untuk memilih dengan rasional pun mereka sudah kehilangan kesempatan untuk menentukan tujuan perubahan yang lebih baik di masa akan datang. Politik uang di kacamata mereka para calon pemimpin akan menganggap rakyat sebagai objek yang bisa dibeli bukan lagi sebagai subjek, yakni sebagai masyarakat yang berdaulat yang akan mereka minta kepercayaannya untuk memilih mereka dengan pertimbangan gagasan, kecerdasan dan bermanfaat yang bisa mereka tawarkan.
Jika kita terus diam akan situasi perpolitikan dan ancaman demokrasi yang sudah semengerikan ini. Maka sudahlah pasti; yang akan dilahirkan dari pada bilik suara nantinya bukanlah pemimpin tapi penguasa yang korup. Bayangkan, ketika awal kampanye saja para calon pemimpin itu harus mengumpulkan sejumlah uang, bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran, untuk membiayai kampanye, dan tentu untuk keberlangsungan praktik licik itu. Sumber biaya tersebut tentu bisa berasal dari mana saja, sebagian dari kekayaan pribadi calon, selebihnya tentu kelompok-kelompok berkepentingan yang siap membiayai namun tentu dengan kong-kalikong didalamnya. Coba tebak apa yang akan terjadi ketika calon-calon ini terpilih sebagai pemenang kontestasi politik nantinya. Ya, mereka akan jadi penguasa yang korup, pikirannya tidak akan lagi sepenuhnya tercurah kepada masyarakat, ataupun tulus mengatasi problematika di lapangan. Mereka akan larut dalam kesibukan untuk memikirkan tak-tik lainnya tentang bagaimana harus balik modal. Korupsi pun akhirnya terjadi. Beberapa orang ketahuan dan ditangkap, beberapa lainnya pandai bersembunyi. Lalu siapa yang merugi, negara. Siapa yang menderita, tentu kita sebagai rakyat.
Melihat dari sisi aturan hukum, konstitusi kita sejatinya telah memberikan batasan yang jelas dan juga pengingat kepada kita semua dalam menjaga kualitas demokrasi. Hal ini tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mana mengamanatkan bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tidak berhenti disitu, aturan khusus pun dibentuk sedemikian rupa untuk mengatur lebih jauh mengenai ketentuan yang harus dipatuhi hal ini dapat kita lihat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang secara tegas melarang politik uang. Namun, meskipun ada dasar hukum yang jelas, tekstual dari pada hukum itu sendiri tentu tidak akan mampu menanggulangi praktek yang sudah mengakar dan menjadi penyakit ini. Ketika penegak hukum dan segala aparat serta lembaga yang berwenang malah tutup mata dan bermain-main dalam menindak lanjuti kasus politik uang ini. Ditambah lagi ketika ramai masyarakat memilih abai dan mewajarkan praktik tersebut. Maka jangan ada bantahan, ketika yang kita miliki nantinya adalah penguasa korup bukan pemimpin. Bedanya jelas sekali; penguasa mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya terlebih dahulu, sibuk memperkaya diri dan kelompoknya, ribut memperdebatkan pembagian kenikmatan dan sebagainya. Sedangkan pemimpin adalah pengarah, yang akan memberikan solusi, menampilkan teladan, mengedepankan kepentingan bersama. Tentu pemimpinlah yang kita mau, namun apa daya ketika uang lah yang menjadi penentu pilihan kita. Jangan berharap lahir pemimpin, tapi bersiaplah menghadapi ratapan penyesalan.
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu kembali menginstal ulang mentalitas kita. Bila kita masih menginginkan perubahan kita perlu berani. Berani untuk sadar. Berani untuk tidak ikut arus, berani pula untuk mengatakan tidak atas kesalahan, bukan membenarkan apa yang salah. Kemudian tidak cukup hanya berhenti pada harapan kesadaran masyarakat. Dalam hal ini kita ingin pemerintah terkhusus pihak-pihak dan lembaga yang mempunyai wewenang dalam menjaga integritas pemilu mulai sekarang haruslah benar benar menyiapkan tekad dan komitmen untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai yang telah ditentukan. Jangan ada lagi main-main. Harus tegas, jangan mau lagi melakukan kong-kalikong dengan para calon licik. Sudah saatnya kita berhenti merawat kesalahan, memelihara kecurangan. kalau tidak dari sekarang sampai kapan ini dibiarkan terjadi?
Tentu memberantas praktik ini menjadi pr berat, karena praktiknya telah mengakar begitu kuat. Tapi itu bukan suatu kemustahilan, layaknya kata Cicero filsuf asal Romawi yang melegenda “selama manusia masih bernafas, selama harapan masih ada. Maka kata mustahil adalah tiada”. Jangan terlalu pesimistis dengan keadaan, karna kita perlu harapan yang optimis untuk melakukan perbaikan.
Penulis opini : Jamalul–Mahasiswa Ilmu Hukum USK
Redaksi : Ipul pedank laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar