• Jelajahi

    Aplikasi (1) Artis (3) Covid 19 (1) Daerah (550) Hukum (85) Internasional (187) Kampus (57) Lifestyle (16) Nasional (276) Politik (72)
    Copyright © elitnesia.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Mahasiswa Bireuen: Ketika Tokoh Jadi Puisi, Buku Jadi Prosa yang Dilupakan

    24 Desember 2024, 20:48 WIB Last Updated 2024-12-24T13:48:48Z
    Foto : M. Arif Abiet (Pegiat Literasi Koboy dan Gerakan Surah Buku)


    Elitnesia.id | Opini,- Di Bireuen, di mana mahasiswa seharusnya menjadi simbol intelektualitas, buku-buku kini hanya menjadi hiasan rak. Debu yang mengendap di atasnya menjadi saksi bisu bahwa literasi telah terasing. Nama-nama tokoh besar terus didengungkan, tapi hanya sebagai puisi tanpa makna yang jauh dari realitas.


    Pertanyaan mendasarnya adalah: mengapa mahasiswa di sini kehilangan hubungan dengan literasi?


    Lihatlah halaman kampus kita hari ini. Ruang yang seharusnya penuh dengan diskusi dan pertukaran ide kini hanya dipenuhi gelak tawa, suara kunyahan bakso, dan asap rokok. 


    Perpustakaan tak lagi jadi rumah bagi mereka yang mencari jawaban, melainkan museum yang  dipenuhi buku-buku yang seolah terbuang. Apakah ini cerminan dari krisis intelektual mahasiswa kita?


    Demonstrasi sering menjadi wajah dari gerakan mahasiswa. Namun, demontrasi yang lahir tanpa kajian hanyalah panggung retorika tanpa makna. Ia hanya akan menjadi parade bendera lembaga, nyanyian lagu perjuangan, atau aksi eksistensi belaka.


    Apa yang hilang dari kita adalah pondasi: membaca buku, merenungi gagasan, dan mendiskusikannya. Sebab tanpa itu, gerakan mahasiswa tak ubahnya seperti puisi yang indah bunyinya, tetapi kosong isinya. 


    Kita merindukan mahasiswa yang bergerak karena pemahaman mendalam, bukan karena dorongan instan yang tak punya arah.

    Tanpa ruang diskusi, tanpa tradisi literasi, dan tanpa gairah untuk berpikir, kita telah menciptakan generasi mahasiswa yang sibuk membangun relasi politik daripada membangun ide-ide besar.



    Ironisnya, setiap mahasiswa yang kembali dari program pertukaran pelajar di Yogyakarta, Malang, atau kota-kota lain sering membawa kisah yang sama. Mereka kagum pada budaya literasi, pada ruang diskusi yang hidup, dan pada gerakan mahasiswa yang penuh gagasan. 


    Namun, ketika kembali ke sini, realitas itu seperti menghilang. Kita terlalu sibuk mencari “siapa yang bisa membantu” daripada bertanya “apa yang bisa kita perjuangkan bersama.”


    Warung kopi yang seharusnya menjadi ruang dialektika justru berubah menjadi panggung kampanye. “Pokoknya beliau mantap, pilih dia” adalah frasa yang lebih sering terdengar daripada argumen yang membangun.  Tak ada lagi semangat untuk menggali sejarah, apalagi untuk memahami perjuangan Aceh dari masa kolonial hingga era sekarang.



    Panggilan untuk mahasiswa Bireuen agar kembali ke akarnya—membaca buku, membangun ruang diskusi, dan menyalakan semangat intelektual. Literasi bukan hanya tentang membaca saja, tetapi tentang membangun pemikiran. 


    Ruang-ruang kampus kita harus kembali hidup. Perpustakaan harus menjadi tempat untuk menemukan ide-ide besar, bukan sekadar menjadi tempat sunyi yang dikunjungi demi laporan tugas.


    Mari kita ubah puisi-puisi kosong menjadi narasi perjuangan. Mari kita jadikan buku-buku di rak itu sebagai alat perubahan. Dan mari kita buat halaman kampus menjadi ruang yang menggugah, di mana mahasiswa kembali menjadi simbol dari intelektual dan perlawanan yang sejati.


    Penulis : M. Arif Abiet (Pegiat Literasi Koboy dan Gerakan Surah Buku)

    Redaksi : Ipul pedank laut

    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Terkini