Elitnesia.id|Bireuen,- Beberapa hari terakhir, di tengah keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang semakin berat, sebuah peristiwa kecil—atau mungkin bisa dibilang simbolis—mendapat perhatian yang jauh lebih besar daripada isu perekonomian yang sedang menggigit. Ya, Anda benar, ini tentang pagar yang roboh di DPRK Bireuen.
Sementara banyak orang mungkin akan menganggapnya sebagai masalah sepele—pagar jatuh, bangun lagi, selesai—untuk kami, mahasiswa Bireuen, ini justru menjadi perdebatan panjang. Kami, yang biasanya terperangkap dalam dunia tugas kuliah dan presentasi yang tak berujung, seolah menemukan pencerahan baru. Bukan dalam soal ekonomi atau kebijakan pemerintah, tetapi dalam soal pagar yang tampaknya "lebih dekat" dengan kami. Karena, tentu saja, mengkritisi tembok yang roboh jauh lebih mudah daripada memahami kenaikan PPN yang mencapai 12%. Siapa yang butuh pajak, kan, kalau temboknya sudah ambruk?
Begitulah, kami mahasiswa Bireuen, dengan semangatnya ke-kompakan, berkomentar tentang pagar yang roboh seakan-akan kami sedang membongkar teori konspirasi besar. "Ini bukan hanya soal pagar, ini simbol dari rapuhnya hubungan antara rakyat dan wakil mereka. Mungkin, memang, pagar itu lebih berbicara daripada statistik ekonomi yang membanjiri berita. Pagar roboh, DPRK merasa tertampar, rakyat mulai bertanya—"apa yang sebenarnya mereka awasi jika temboknya saja gampang jatuh?"
Namun, keunikan mahasiswa Bireuen, tentu, adalah kami lebih fokus pada apa yang tampak di depan mata—yaitu pagar—daripada memikirkan PPN yang naik dan membebani. Lalu kami bertanya, bagaimana mungkin pajak 12% yang menambah beban hidup kita, bisa lepas dari perhatian? Kenapa kami lebih bersemangat membahas struktur pagar ketimbang struktur ekonomi negara?
Mungkin jawabannya sederhana: kita lebih mudah berurusan dengan masalah yang bisa dilihat. Pagar itu nyata, bisa disentuh, dan bisa dilihat robohnya. Sementara kenaikan PPN adalah sesuatu yang abstrak, yang dampaknya tersembunyi di dalam struk belanja dan rekening bank yang semakin menipis. Untuk itu, kami lebih memilih berbicara tentang tembok yang jatuh, karena lebih cepat selesai dan lebih menghibur. Lagipula, siapa yang mau repot-repot membahas pajak jika kita bisa menganalisis kekuatan beton?
Namun, pada akhirnya, ada kesadaran yang muncul. Mungkin saat pagar itu diperbaiki, kami juga harus mulai memperbaiki cara berpikir kami tentang masalah yang lebih besar, seperti pajak yang semakin memberatkan. Tapi sampai saat itu tiba, kami akan terus berpura-pura bahwa diskusi tentang pagar adalah cara kami berkontribusi pada perbaikan negara. Sebab, bagaimanapun, lebih mudah untuk mengkritik pagar yang roboh daripada perekonomian yang semakin tak terlihat jelas arah dan tujuannya.
Penulis : M. Arif Abiet (Pegiat Literasi Koboy dan Gerakan Surah Buku)
Redaksi : Ipul pedank laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar