![]() |
Penulis : Anwar, S.Ag, M.A.P |
Opini,- Konsep Kota Santri bukanlah sesuatu yang lahir dari ruang kosong. Ia memiliki akar yang dalam, tertanam dalam sejarah panjang pendidikan Islam di Nusantara, dari pesisir Jawa hingga ujung Aceh. Jejaknya bisa kita lihat di berbagai daerah di Indonesia. Dayah atau pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga pusat peradaban yang membentuk identitas masyarakat.
Bagi Bireuen, memahami jejak ini adalah langkah untuk menemukan inspirasi sekaligus menegaskan bahwa visi Kabupaten Bireuen sebagai Kota Santri adalah kelanjutan dari warisan yang sudah ada.
Sejarah Kota Santri di Indonesia dimulai jauh sebelum istilah ini populer. Pada abad ke-15 dan 16, Wali Songo, para ulama besar seperti Sunan Ampel dan Sunan Giri mendirikan pesantren pertama di Jawa. Mereka tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membangun komunitas yang mengintegrasikan Islam dengan kehidupan sehari-hari, dari pertanian hingga perdagangan.
Pesantren-pesantren ini menjadi cikal bakal kota-kota yang dikenal sebagai pusat pendidikan Islam, seperti Demak dan Gresik. Puncaknya terlihat di Jombang Jawa Timur, yang hingga kini dijuluki “Kota Santri”. Di sini, pesantren seperti Tebuireng didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 1899 menjadi simbol kebangkitan pendidikan Islam.
Jombang bukan sekadar kota biasa; ia adalah tempat ribuan santri belajar, ulama berkumpul dan gagasan besar seperti tempat Nahdlatul Ulama lahir. Pesantren di Jombang tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga beradaptasi dengan zaman, mengajarkan bahasa asing, keterampilan, bahkan peran dalam perjuangan kemerdekaan.
Jejak ini menunjukkan bahwa Kota Santri adalah konsep yang hidup, mampu tumbuh seiring waktu. Daerah lain seperti Ponorogo dan Cirebon juga meninggalkan jejak serupa. Di Ponorogo, Pesantren Gontor memperkenalkan pendidikan modern yang memadukan agama dan ilmu umum, mencetak alumni yang berpengaruh hingga ke mancanegara. Ini membuktikan bahwa Kota Santri bukan tentang isolasi, tetapi tentang membuka diri pada dunia tanpa kehilangan akar keislaman.
Di Aceh, jejak Kota Santri memiliki warna tersendiri, terukir dalam julukan “Serambi Makkah” yang mencerminkan peran provinsi ini sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejak abad ke-13, Aceh menjadi pusat pembelajaran Islam, dengan ulama besar seperti Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf Singkil (Syiah Kuala) yang mendirikan lembaga pendidikan awal.
Dayah, sebagai bentuk pesantren khas Aceh, tumbuh subur di berbagai wilayah, termasuk Bireuen menjadi benteng ilmu sekaligus budaya. Salah satu contoh penting adalah Dayah Darussalam di Labuhan Haji, Aceh Selatan, yang berdiri sejak abad ke-19. Dayah ini tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme, menunjukkan bahwa pendidikan Islam di Aceh selalu punya dimensi sosial dan politik.
Di Bireuen sendiri, Dayah Mudi Mesra Samalanga Perletakan batu pertama dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda pada sekitar abad ke XVII tahun 1607-1636 (sumber: NU Online) menjadi bukti bahwa kabupaten ini telah lama menjadi bagian dari jejak tersebut. Dayah ini dikenal sebagai salah satu pusat studi kitab kuning terbesar di Aceh, menarik santri dari berbagai daerah dan memperkuat reputasi Bireuen sebagai lumbung pendidikan Islam.
Namun, jejak di Aceh juga menghadapi ujian berat. Konflik bersenjata selama puluhan tahun dan tsunami 2004 menghancurkan banyak dayah, termasuk di Bireuen, meninggalkan tantangan untuk membangun kembali. Meski begitu, semangat dayah tidak pernah padam. Tradisi lisan, pengajian rutin dan peran ulama dalam masyarakat tetap hidup, menjadi fondasi yang kuat untuk visi Kota Santri modern kedepan.
Jejak Kota Santri di Indonesia dan Aceh mengajarkan satu hal: pendidikan Islam bisa menjadi kekuatan transformatif jika dikelola dengan baik. Jombang menunjukkan bagaimana pesantren bisa menjadi pusat intelektual dan sosial. Gontor membuktikan bahwa modernitas dan agama bisa bersatu. Aceh, termasuk Bireuen, mengingatkan kita bahwa dayah adalah lebih dari sekolah, ia adalah jantung komunitas.
Kabupaten Bireuen sebagai Kota Santri tidak perlu memulai dari nol; ia hanya perlu melanjutkan dan memperbarui jejak yang sudah ada, dengan menyesuaikan konsep Kota Santri sesuai kebutuhan zaman, teknologi, ekonomi dan kesejahteraan, tanpa kehilangan nilai inti: ilmu dan akhlak.
Jejak ini bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah cermin yang menunjukkan apa yang mungkin dicapai Bireuen: sebuah kabupaten yang menghormati warisannya, sekaligus berani melangkah ke masa depan. Dari Wali Songo hingga ulama Aceh, dari Jombang hingga Bireuen, Kota Santri adalah warisan yang kini ada di tangan kita untuk dilanjutkan.
Penulis : Anwar, S.Ag, M.A.P Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten Bireuen.
Redaksi : Ipul pedank laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar